Thursday, December 26, 2013

Tradisi "Intelektual" di Dunia Barat dan Islam Part 1

Intelektual dalam Islam dikenal dengan ciri membawa kepentingan misi dari tuhannya. Ini sangat berbeda dengan ciri Intelektual Barat

Suasana nampak sejuk menyertai peserta diskusi yang diselenggarakan Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Malasya, meski mengangkat tema yang cukup berat " Intelektual dan Intelektualisme : perspektif Barat dan Islam" , tetap membuat peserta bersemangat. Diskusi dibantu slide semakin menambah renyahnya pemateri mengurai lembar demi lembar khazanah keilmuan. Peserta pun nampak antusias dan takjub manakala fakta - fakta sejarah mengemukan dengan detail masalah "intelektual" dan "intelektualisme" dengan framework islam atau islamic worldwide.

INTELEKTUAL BARAT

Para pemateri mengawali presentasi tentang citra bururk "intelektual", sebagaimana diketahui , tahun 1898 , seorang perwira berpangkat kapten  'keturunan yahudi dipecat dari dinas ketentaraan Perancis karena dicurigai bekerja sebagai mata - mata pihak asing'. Pria itu tak lain Albert Dreyfus

Kasus Dreyfus inilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbelah dua ; yang membela dan mengutuk. Yang mengutuk Dreyfus disebut oleh yang pertama sebagai anti-semit atau rasis dan pembela Dreyfus disebut less intellectuels dan deracines oleh yang kedua. Diantara pembelanya seperti Emile Zola (1840 - 1902) , Emile Durkheim (1858 - 1917) dan Anatole France (1844 - 1924) , sedang yang mengutuk adalah Maurice Barres (1862 - 1923) dan Ferdinand Brunetiere.

Kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan pemburukan daripada sanjungan , yang berlaku tidak hanya di Perancis , tapi juga di Inggris dan Amerika. Oleh karenanya pemateri mencibir fakta - fakta sejarahnya , mulai dari Perancis, Inggris, Jerman, bahkan Rusia.

Ada beberapa teori intelektual yang dikemukakan pemateri. Ia memulai dengan teori intelektual ala Julien Benda (1867 - 1956). Lewat buku monumentalnya, La Trahison Des Clercs (1927), Benda memberi beberapa catatan tentang intelektual. Diantaranya, seorang intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan , tekun, dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat, berani keluar dari sarangnya untuk memprotes ketidak adilan dan menyuarakan kebenaran, walau mahal resikonya dan oleh itu ia tidak takut penjara atau hidup susah. Singkatnya, sosok - sosok semacam Socrates, Yesus, dan Spinoza adalah profil yang sangat pas bagi Benda.

Kalau teori Benda sangat terlihat sangat elitis , mengawang - awang, sebagaimana Edward Said (1935 - 2003) dan Ernest Gellner (1925 - 1995) mengkritiknya , maka lain halnya dengan seorang sosiolog Regis Debray yang lebih praktis dan dinamis. Ia membagi tiga generasi intelektual. Pertama 1900 - 1930, terdiri dari para pengajar (teachers) yang membela Dreyfus, seperti Emile Zola, Emile Durkheim, dan Anatole France, kedua 1930 - 1960, diwakili oleh para penulis (writters, novelist, essayist ). Ketiga, dari tahun 1960 - sekarang , mereka yang disebut sebagai "cendekiawan selebritis" , yang suka tampil di media massa ,yang mempunyai pesona , sensasional, dan ingin terkenal, serta mengabaikan standar keilmuan dan kejujuran. Seorang Jean Francois Sirinelli pun merasakan fenomena generasi ketiga ini, seraya ia berteriak lantang , "Faut-il sonner le glas des intellectuals?" atau "apakah intelektual kini sudah tiba ajalnya?"

Lain lagi dengan pandangan Antonio Gramsci (1891 - 1937) , yang membagi intelektual menjadi dua macam : "Intelektual tradisional" dan "intelektual Organik" . Intelektual yang pertama adalah mereka para tokoh agama, guru/dosen, birokrat , dan seperti mereka inilah profil intelektual yang tidak membumi , hidup dalam ilusi dan utopia. Sedangkan yang kedua adalah intelektual yang aktif , tidak pernah diam , senantiasa berbuat sesuatu untuk masyarakatnya. Di sini pemateri meminjam ungkapan Edward Said " Always on he move, on the make ".

Karrena intelektual di Barat tidak bisa lepas dari istilah intelligensia , maka pematei mengajak melakukan kroscek ke negara asal pemproduksi istilah ini. Ternyata ia berasa dari Polandia dan Rusia. Di Polandia , 'Intelligensia' adalah para lulusan sekolah, minimal sekolah menengah , dan yang mengerti sejarah Polandia , Merka ini yang disebut mature (dewasa) , lebih layak memimpin dan mengelola negara ketimbang kaum borjuis yang tidak mempunyai idealisme dan suka korupsi.

Sementara di Russia , intellegensia adalah orang - orang bangsawan yang mengambil jarak dari kaum borjuis kapitalis dan merasa terpanggil untuk memanggil bangsa. Kelompok inialah yang kemudian dijuluki 'slavophile' karena merekalah yang menuntut penghapusan feodalisme dan tsarsisme, menghendaki perombakan total sistem politik, ekonomi, dan sosial. Kelompok ini sempat eksis setelah tsar digulingkan pada revolusi Oktober 1917, setelah kemudian ditumpas habis oleh Stalin.

Sedangkan di Inggris dan Amerika, istilah intelektual mempunyai konotasi negatif. Bgi masyarakat Inggris , intelektual itu sebutan bagi orang - orang yang irrasional, egois, sok pintar Bahkan seorang sekretaris luar negeri di masa PM Margaret Thatcher, Sir Geoffrey Howe, menyiratfati Salman Rushdie (penulis buku "ayat - ayat setan") sebagai 'arrogant'. ' a dangerous opportunist', dan 'a multiple renegade'. 

Lebih jauh lagi Paul Johnson, lewat karyanya intellectuals (1998) , mengutuk kalangan intelectual dengan menyatakan " no wises as mentors , or worthies as exemplars, tan the witch doctors or priest of old" atau tak layak menjadi teladan.

Melihat akar sejarahnya, maka pemateri memberikan beberapa karakter penting intelektual di barat. Yakni, non-committal, tak terikat dari segi ide; independent, tak terikat, dari segi aksi ; non-secretarian, untuk semua golongan; non-partisan, tidak memihak; non-conformis, pantang menyerah; rebelion, cendering memberontak; oppositional, menentang arus; resistent, menunjukkan perlawanan. 

Lalu bagaimana dengan intelektual di dalam Islam?? Kita tunggu post selanjutnya.

No comments:

Post a Comment